Antara Titik 99 dan 100

Gw inget, di rapat terakhir para PJTK 2011, setelah waktu 2 jam yg rasanya seabad, pada bagian terakhir PakDep menyampaikan bahwa kami harus bisa menghasilkan titik-titik yang bercerita. Sebelum berangkat ke survei pertama gw tahun ini, gw berfikir hm... kira-kira apa yah yang bisa gw ceritakan tentang tempat yang satu ini, Lebak. Sehari dua hari saat tim kami banyak berurusan dengan instansi lain untuk mencari data, rasanya belum ada yang istimewa dari survei kali ini. Dan... ternyata cerita itu baru gw temukan dalam perjalanan antara titik 99 dan 100.

titik 99 kami berada di balik jembatan kuning ini

Bukan berarti titik sampel survei kali ini sampai 100 buah, penamaan titik ini mengikuti titik yang sudah ada di GPS. Posisi si titik 99 ini berada di Kampung Ciparay dan titik ke 100 berada di Bayah. Dan.... diantara dua lokasi tersebut ada gunung Endut yang masih masuk kawasan Taman Nasional Halimun-Salak. Huakakak!

Untuk sampai ke Ciparay saja tim kami sempet nyasar, dan bertemu dengan seorang ibu yang menerangkan jalan dengan bahasa sunda. Untung salah satu tim ada yang orang sunda. Selepas Ciparay kami berusaha mencari jalan menuju ke Bayah. Nah, jalanan di daerah Lebak itu bisa terbilang tidak manusiawi jeleknya. Berbatu, bolong-bolong, naik turun, kadang berlumpur. Mobil survei tim kami sempat macet di tengah jalan karena terhalang bebatuan. untungnya saat itu ada sekumpulan anak muda yang membantu mendorong mobil. Setelah meneruskan perjalanan beberapa kilometer, mobil survei kami lagi-lagi macet di tanah berlumpur. Saat itu sudah gelap, untung si bapak supir berhasil memaksa mobil keluar.

Akhirnya kami bertemu sebuah desa kecil (mungkin kampung) yang disebut Citorek. Disanalah ketua tim kami memutuskan untuk menunda perjalanan, dan atas kebaikan salah satu warga kami menginap di rumahnya. Citorek ini cukup merepotkan, karena selain ga ada penginapan, sinyal telepon seluler juga ga ada kecuali salah satu profider yang kebetulan seluruh anggota tim tidak ada yang menggunakan. Tapi ternyata Citorek ini merupakan kampung penambang emas. Tuan rumah yang kami tumpangi adalah salah satunya. Di samping rumahnya yang mewah (yang tentunya sangat kontras dengan rumah penduduk sekitar) terdapat mesin pengolah emas dimana gundukan tanah yang diambil dari gunung dipisahkan untuk mendapatkan emasnya. Mesin itu menyala sepanjang malam dan memang sekali proses membutuhkan waktu kurang lebih 12 jam. Mesin ini tidak hanya dipakai sendiri tetapi juga disewakan untuk penambang lain. Satu kali proses (yang disebut si ibu 'mencet') dihargai 10 ribu rupiah. Setelah obrolan pagi dengan si ibu pemilik rumah, tim kami melanjutkan perjalanan.

Pagi hari di Citorek

Kembali memasuki kawasan Taman Nasional, untuk ketiga kalinya mobil survei kami harus menyerah kalah pada jalanan batu yang terus menerus menanjak. Kali ini jauh lebih parah dari sebelumnya karena entah bagaimana posisi si mobil jadi melintang di jalan, mentok ke tebing. Untungnya (lagi-lagi, Alhamdulillah ya Allah) kami mendapat bantuan dari para penambang yang lewat di sekitar. Setelah kehabisan ide akhirnya mereka memutuskan untuk mengangkat mobil untuk membetulkan posisinya. Dan beramai-ramai mereka mendorong mobil sampai keluar dari jeglongan yang mematikan tersebut. Fiuuh...
Dan akhirnya mereka menggotong si mobil survei

Setelah titik itu semua jalan jelek itu terlihat tidak buruk. Dan... setelah sinyal kembali kami dapatkan, ternyata banyak juga orang yang mencari kami yang menghilang tidak bisa dihubungi semalaman :D Yang paling penting adalah, seperti kata abang, " bisa kamu jadiin tulisan kan?" walaupun pastinya enggak akan masuk ke laporan survei :))

Comments

Popular Posts