Menjemput Senja di Bontang Kuala

Hari sudah menjelang senja saat kami tiba di Bontang Kuala, tidak seorangpun di dalam mobil survei yang bisa menebak ada apa yang akan kami temukan di ujung jalan papan yang membelah gugusan mangrove. Titik rawan banjir, hanya itu yang kami tau.


Ternyata Bontang Kuala lebih dari sekedar daerah rawan banjir. Barisan rumah panggung berlantai papan yang memanjang kurang lebih 2 km ke arah laut ini mengingatkan ku akan Torosiaje, perkampungan suku Bajo di Gorontalo. Namun Bontang Kuala lebih luas, minus koridor kayu beratap asbes. Aku dan salah satu anggota tim memutuskan untuk menyusuri perkempungan nelayan ini sekedar mencari tambahan informasi untuk keperluan survei kebencanaan. 


Setelah wawancara dengan satu dua penduduk, aku menemukan diriku menikmati suasana sore di Bontang Kuala. Jalan papan itu berujung di areal luas yang menghadap ke laut, dipenuhi oleh kafe-kafe sederhana yang bangku warna-warninya berjajar rapih. Anak-anak bermain sepak bola, tidak mempedulikan tiupan angin dan lalu lalang mengunjung. Tepat di belakang barisan kafe terdapat dermaga seadanya yang digunakan orang-orang untuk menghabiskan sore. Sebagian hanya duduk sambil bercengkrama, sebagian menikmati isapan rokok atau gigitan jagung bakar. 


Dari bapak penjual jagung bakar aku tau bahwa Bontang Kuala terkenal dengan Pesta Nelayannya yang diselenggarakan sekitar bulan November - Desember. " Lain kali kesini pas Pesta nelayan saja mba, ramai sekali lho, ada lomba ketinting dan kano." kata si bapak ramah. Ia lalu menunjuk seorang anak yang sedang berlatih kano, " Itu untuk persiapan kejuaraan." Aku tersenyum, menganggukan kepala dan memasukan Bontang Kuala ke dalam daftar satu tempat yang harus ku kunjungi kembali suatu saat nanti.


Dan senja pun turun di Bontang Kuala. Tidak ada semburat oranye keemasan, yang ada hanya langit biru jernih yang mendadak berubah menjadi semakin gelap. Lampu-lampu rumah mulai menyala dan adzan magrib mulai berkumandang, bersaut-sautan dari dua masjid di atas tiang kayu kelapa. Tanpa banyak bicara aku dan teman satu tim melangkahkan kaki menyusuri jalan papan menuju ke titik awal untuk meneruskan perjalanan.


Comments

Popular Posts